Selasa, 21 Februari 2017

Guru dan Tradisi Menulis


Sebuah opini,prhdy. 22 Feb 2017 
Guru adalah pendidik profesional yang seharusnya mampu menjadi agen perubahan. Yaitu sebagai agen transformasi sosial, agen ilmu pengetahuan, dan agen transformasi nilai-nilai moral. Namun dalam menjalankan peran itu, guru akan memperoleh tantangan yang luar biasa besar terutama dari masyarakat itu sendiri. Karena untuk bisa berperan sebagai agen perubahan, diperlukan bekal diri yang banyak baik menyangkut ilmu pengetahuan, sikap hidup, maupun komitmen moral yang dimiliki. Padahal, ilmu pengetahuan, dinamika masyarakat dan nilai-nilai moral terus berubah cepat dan nyaris tak bisa diikuti oleh kekuatan yang dimiliki oleh manusia secara total.
Oleh karena itu, agar seorang guru terjaga kelanggengan ilmu pengetahuannya, diharapkan mampu mendokumentasikan pemikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah bagian dari tradisi modern. Sejauh mana budaya tulis suatu masyarakat, akan memberikan gambaran bagaimana peradaban suatu bangsa itu hidup. Dalam masyarakat primitif/tradisional yang lebih kuat adalah tradisi lisan, sehingga ilmu pengetahuan, sastra dan nilai-nilai lain hanya ditularkan dari lisan ke lisan, yang mungkin akan mengalami penambahan atau pengurangan dan yang pasti tidak ada jaminan akurasinya.
Menyadari hal itu, kemampuan menulis merupakan satu hal yang harus dikuasai seorang guru. Dengan menulis, guru mampu merekam dinamika kelas yang dipimpinnya (action research), menulis buku, dan menuangkan ide cemerlang dalam bentuk tulisan lainnya. Guru adalah pioneer bagi masyarakatnya, selayaknya ia mampu menjadi pelaku dalam tradisi menulis. Bagaimana mungkin ia akan mampu membawa masyarakat ke dalam peradaban modern sementara dirinya masih hidup dalam masyarakat tradisional yang serba lisan? Lantas bagaimana agar guru bisa menjadi penulis, berikut beberapa tips yang perlu dipraktikkan;
Pertama, jika ingin menjadi seorang penulis ia harus rajin membaca. Membaca adalah dasar menulis. Tidak ada seorang penulis tanpa ia menjadi seorang pembaca terlebih dahulu. Membaca dalam arti luas; membaca huruf, membaca buku, membaca kejadian, membaca alam dan fenomenanya. Dalam hal membaca, kemampuan masyarakat kita tergolong masih rendah. Hasil studi tentang kemampuan membaca yang dilakukan IEA (International Association for Evaluation of Education) tahun 1992 terhadap siswa SD kelas VI, menempatkan Indonesia di urutan 29 dari 30 negara di dunia. Demikian juga, World Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan Education in Indonesia from Crisis to Recovery tahun 1998 juga menempatkan kemampuan membaca siswa kelas VI sekolah dasar kita pada peringkat paling akhir di bawah negara-negara Asean lainnya. Saat ini, anak-anak kita betah berlama-lama di depan komputer/HP bukan untuk membaca (buku), tetapi untuk bermain game dan pertemanan melalui media sosial. Ini menunjukkan tradisi membaca belum hidup sehingga tradisi menulis pun belum hidup pula.
Kedua, berani mencoba adalah awal sukses seorang penulis. Banyak orang ingin menjadi penulis, tetapi ia malas mencoba. Kebanyakan di antara kita adalah orang yang takut gagal. Kegagalan bukan sebagai pelecut meraih prestasi, justru menjadi awal munculnya rasa frustasi. Seorang guru yamg ingin menjadi penulis harus berani mencoba membuat tulisan. Banyak guru yang membuat karya tulis untuk memperoleh angka kredit unsur pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) ditolak tim penilai. Setelah itu menyimpulkan diri, bahwa ia tidak bisa menulis, dan berhenti tidak mencoba lagi. Padahal, sebenarnya ada guru yang berhasil lolos karya tulisnya. Guru yang lolos pasti pernah mengalami kegagalan, tetapi tidak pernah putus asa. Artinya, bagaimanapun sulitnya ternyata bisa ditembus, sehingga guru tersebut bisa memperoleh pangkat tertinggi sebagaimana aturan yang ada.  
Ketiga, merangkai dan membangun sebuah tulisan harus tahu akan dipergunakan untuk apa tulisan tersebut. Kalau tulisan untuk surat kabar tentu harus dibuat dengan bahasa populer. Tetapi apabila dimaksudkan untuk karya ilmiah, harus menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku pada media yang dituju. Untuk itu sebuah pelatihan yang kontinyu dan terbimbing perlu terus dilakukan. Akan lebih baik apabila memanfaatkan kelompok-kelompok organisasi profesi yang sudah ada sehingga ada saling koreksi antar sesama anggota kelompoknya.

Akhirnya, menulis adalah memberikan warisan kepada generasi penerus yang tidak akan pernah habis. Manusia boleh mati, tetapi ide-idenya akan abadi, terus hidup dalam masyarakat apabila mampu menuangkan ide-ide itu dalam bentuk tulisan. Maka tak ada pilihan lain bagi guru, agar ilmu dan pengalaman hidup yang dimiliki bisa terwariskan kepada generasi berikutnya, guru harus mampu menulis. Guru harus membuat karya tulis, menulis buku dan sejenisnya. Mari kita mulai berlatih! 

Tidak ada komentar: